Thursday, March 15, 2007

HARI MINGGU di Sokoria

Dentang lonceng dari menara Gereja St. Maria de Fatima menyeruak, membuka pagi yang sepi dingin di Sokoria, memanggil umatnya untuk bergegas datang bersimpuh sujud sejenak di Rumah Tuhan. Gaungnya terdengar hingga jauh ke seluruh perkampungan Sokoria, juga sampai ke perbukitan dan lembah di sekitarnya. Lonceng akan berdentang panjang dua kali dengan jarak waktu kurang lebih 30 menit. Dentangan ketiga pendek saja, tanda ibadah dimulai. Umat sudah mengerti aturan ini.

Tak lama berselang, tua & muda, besar & kecil, umat Tuhan berbondong-bondong mulai berdatangan. Dari atas bukit umat Leledala, Kenaguka & Wololele bergegas turun. Dari Sokoria Nuaria, umat cepat-cepat datang mengitari & menyeberangi Lowo Lande. Umat Nuanoka, Wolosambi, Nuamuri juga demikian. Tidak ketinggalan umat Kopoone & Detuboti yang dekat dengan Gereja. Hari minggu adalah hari Tuhan, hari istimewa. Semuanya harus ke Gereja. Kebiasaan yang boleh dibilang sudah menjadi bagian dari kehiduban masyarakat di sini sejak Misi Khatolik diperkenalkan.

Satu persatu umat memasuki Gereja, kecuali murid-murid SDK Sokoria 1 & SDK Sokoria 2. Mereka harus berbaris rapih dahulu di depan Gereja, kemudian sesaat sebelum ibadah dimulai, satu persatu mereka masuk dengan tertib dipandu salah seorang guru mereka. Anak-anak Sekolah Dasar mengambil tempat paling depan, di dekat altar. Anak-anak Tuhan yang manis.

Lonceng berdentang tiga kali, tanda ibadah minggu dimulai. Ibadah biasa tanpa imam/pastor berlangsung kurang lebih satu jam. Umat duduk bersimpuh saja di lantai ubin karena belum ada bangku-bangku atau tempat duduk.

Bertahun-tahun, sejak agama Khatolik masuk ke Sokoria hingga saat ini, Ibadah hari Minggu biasa hampir selalu tanpa Imam/Pastor. Ibadah cukup dipimpin oleh salah seorang Pro Diakon, seorang Guru Sekolah atau salah seorang Pengurus Stasi. Pada hari raya Natal atau Paskah baru ada Imam/Pastor yang berkunjung ke Stasi Sokoria. Umat Stasi Sokoria sudah sangat maklum dengan keadaan ini. Sudah terbiasa. Tetap menjalaninya dengan semangat dan penuh iman. “Dimana dua atau tiga orang berkumpul dalam NAMAKU, AKU ada di tengah-tengah mereka.” Keyakinan ini sudah lebih dari cukup. Janji Tuhan pasti ditepati. Dan satu hal yang sangat menghibur umat di sini adalah bahwa benih panggilan rohani tumbuh cukup subur di ladang Gereja St. Maria de Fatima. Beberapa putra Sokoria tertarik untuk belajar di Seminari, sekolah pendidikan calon imam. Dan saat ini Sokoria telah mempersembahkan 4 (empat) orang putra terbaiknya menjadi Imam Tuhan/Pastor. Berkat Tuhan sungguh nyata di sini. “Terima kasih Tuhan karena Engkau berkenan pada hamba-hambaMU yang hina dina ini”.
Seperti sang surya yang tak pernah lupa bersinar setiap hari dan tak pernah meminta apapun dari makhluk bumi ini, demikian juga kita hendaknya. Memberi tak perlu berharap kembali. Jika hingga saat ini Gereja tua kita tak punya seorang Imam yang tetap, sudahlah. Mungkin kita belum layak memperolehnya.

Hari minggu, hari yang dikuduskan Tuhan. Di Gereja tua, setialah kita untuk tetap bertemu dan berkumpul. Mengucap syukur dan berterima kasih. Tuhan sungguh mencintai kita, menjaga kita seperti biji mataNYA.

Usai ibadah minggu biasanya dilanjutkan dengan bermain sepak bola di lapangan depan gereja, atau bermain volley, atau duduk-duduk bercerita dengan saudara dan teman-teman. Hingga senja tiba dan Sokoria kembali terlelap dalam gelap, dalam kabut dingin, menanti esok tiba untuk kembali ke ladang dan sawah di lereng-lereng bukit dan lembah nan elok permai. Damai kampungku. Terberkatilah engkau.