Perkampungan Sokoria berada di wilayah Pemerintahan Kabupaten Ende – Lio, Nusa Tenggara Timur, Indonesia.
Terletak di atas ketinggian pegunungan, Sokoria beriklim sangat sejuk sepanjang tahun dan cenderung dingin pada malam hari. Perkampungan Sokoria dikitari gunung-gunung. Di Timur menjulang gunung Kelinabe, di sebelah Barat tegak berdiri gunung Kelikiku, Utara dipagari oleh pegunungan Rate Beke, Mutu Busa dan Ae Moka, di Selatan pemandangan membentang lepas hingga Laut Sawu, Pantai Ngalu Polo (Selatan Pulau Flores).
Hijau pepohonan hutan, belukar dan tanaman pertanian, juga banyaknya mata air gunung adalah bukti suburnya tanah Sokoria. Bekas gunung api Mutubusa dengan kandungan vulkaniknya juga turut menunjang kesuburan lahan bertani penduduk. Bermacam tanaman pertanian bisa tumbuh di Sokoria. Sayur, buah-buahan, rempah-rempah, palawija, padi, jagung, umbi-umbian, tanaman perdagangan seperti kemiri, kopi, cengkeh, vanili, cokelat, dsb.
Penduduk Sokoria adalah masyarakat petani tradisional dengan kehiduban sosial budayanya yang unik, khas Lio (nama salah satu suku di kabupaten Ende), akrab dengan adat istiadat. Menanam, memanen dan syukuran selalu diawali dengan ritual adat. Begitu juga dengan membangun rumah. Mosalaki , Riabewa, Kopokasa adalah sebutan untuk para Tetua Adat. Merekalah yang memimpin ritual-ritual adat. Keda dan Sao Ria adalah rumah-rumah adat beratap ilalang dengan fungsi dan tugasnya masing-masing. (Tentang Adat Istiadat dan keunikan lainnya, mudah2an akan diceritakan lebih terperinci pada kesempatan yang akan datang)
Kehiduban sosial ekonomi masyarakat di Sokoria tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan dari waktu ke waktu. Pola bertani tradisional tentu tidak akan mendatangkan hasil yang luar biasa. Perlu diupayakan pola bertani modern yang bisa diterapkan di Sokoria mengingat topografi Sokoria yang kurang menguntungkan meskipun lahannya subur. Sawah dan ladang orang Sokoria kebanyakan berada di lereng-lereng bukit dan lembah, sedikit yang berada di dataran. Namun satu hal baik yaitu bahwa penduduk Sokoria adalah petani yang rajin dan ulet. Sedikit demi sedikti mereka terus berupaya membangun kehiduban ekonominya, juga memperjuangkan pendidikan bagi anak-anak mereka. Maka terus lahirlah generasi baru Sokoria dengan pendidikan menengah hingga pendidikan tinggi, berprofesi sebagai guru, dosen, pekerja kantoran pemerintah / swasta, pelaku bisnis, dsb.
Letak geografis Sokoria cukup strategis, dilewati jalan alternatif yang menghubungkan beberapa kecamatan atau desa lain (Wolowaru, Jopu, Wolojita, Wolopau, Roga, Demulaka, Kurulimbu) dengan ibu kota kabupaten Ende. Ini pula yang mengilhami Pemerintahan Kolonial Belanda dahulu yang menjadikan Sokoria sebagai salah satu tempat persinggahan. Misi Khatolik juga telah mendirikan Sekolah Rakyat di sini sejak tahun 1918.
Meskipun demikian, cukup lama Sokoria terisolasi karena tidak ada akses jalan raya. Pergi dan pulang ke kota Ende atau ke tempat lain selalu dengan berjalan kaki. Alat transportasi utama saat itu adalah kuda untuk mengangkut barang-barang keperluan sehari-hari dari kota.
Pada pertengahan tahun 1990, ke Sokoria sudah bisa ditempuh dengan alat transportasi modern, mobil dan sepeda motor. Seiring dengan pembangunan Proyek Pembangkit Listrik Panas Bumi di Mutubusa, semakin baik juga kondisi jalan raya menuju Sokoria saat ini.
WELCOME TO SOKORIA, selamat menikmati indahnya alam, sejuknya hawa, dinginnya malam, hangatnya pancuran Aemu (mata air hangat), uniknya ritual adat, Gereja Tua St. Maria de Fatima, senyum ramah penduduk, dsb.
Terletak di atas ketinggian pegunungan, Sokoria beriklim sangat sejuk sepanjang tahun dan cenderung dingin pada malam hari. Perkampungan Sokoria dikitari gunung-gunung. Di Timur menjulang gunung Kelinabe, di sebelah Barat tegak berdiri gunung Kelikiku, Utara dipagari oleh pegunungan Rate Beke, Mutu Busa dan Ae Moka, di Selatan pemandangan membentang lepas hingga Laut Sawu, Pantai Ngalu Polo (Selatan Pulau Flores).
Hijau pepohonan hutan, belukar dan tanaman pertanian, juga banyaknya mata air gunung adalah bukti suburnya tanah Sokoria. Bekas gunung api Mutubusa dengan kandungan vulkaniknya juga turut menunjang kesuburan lahan bertani penduduk. Bermacam tanaman pertanian bisa tumbuh di Sokoria. Sayur, buah-buahan, rempah-rempah, palawija, padi, jagung, umbi-umbian, tanaman perdagangan seperti kemiri, kopi, cengkeh, vanili, cokelat, dsb.
Penduduk Sokoria adalah masyarakat petani tradisional dengan kehiduban sosial budayanya yang unik, khas Lio (nama salah satu suku di kabupaten Ende), akrab dengan adat istiadat. Menanam, memanen dan syukuran selalu diawali dengan ritual adat. Begitu juga dengan membangun rumah. Mosalaki , Riabewa, Kopokasa adalah sebutan untuk para Tetua Adat. Merekalah yang memimpin ritual-ritual adat. Keda dan Sao Ria adalah rumah-rumah adat beratap ilalang dengan fungsi dan tugasnya masing-masing. (Tentang Adat Istiadat dan keunikan lainnya, mudah2an akan diceritakan lebih terperinci pada kesempatan yang akan datang)
Kehiduban sosial ekonomi masyarakat di Sokoria tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan dari waktu ke waktu. Pola bertani tradisional tentu tidak akan mendatangkan hasil yang luar biasa. Perlu diupayakan pola bertani modern yang bisa diterapkan di Sokoria mengingat topografi Sokoria yang kurang menguntungkan meskipun lahannya subur. Sawah dan ladang orang Sokoria kebanyakan berada di lereng-lereng bukit dan lembah, sedikit yang berada di dataran. Namun satu hal baik yaitu bahwa penduduk Sokoria adalah petani yang rajin dan ulet. Sedikit demi sedikti mereka terus berupaya membangun kehiduban ekonominya, juga memperjuangkan pendidikan bagi anak-anak mereka. Maka terus lahirlah generasi baru Sokoria dengan pendidikan menengah hingga pendidikan tinggi, berprofesi sebagai guru, dosen, pekerja kantoran pemerintah / swasta, pelaku bisnis, dsb.
Letak geografis Sokoria cukup strategis, dilewati jalan alternatif yang menghubungkan beberapa kecamatan atau desa lain (Wolowaru, Jopu, Wolojita, Wolopau, Roga, Demulaka, Kurulimbu) dengan ibu kota kabupaten Ende. Ini pula yang mengilhami Pemerintahan Kolonial Belanda dahulu yang menjadikan Sokoria sebagai salah satu tempat persinggahan. Misi Khatolik juga telah mendirikan Sekolah Rakyat di sini sejak tahun 1918.
Meskipun demikian, cukup lama Sokoria terisolasi karena tidak ada akses jalan raya. Pergi dan pulang ke kota Ende atau ke tempat lain selalu dengan berjalan kaki. Alat transportasi utama saat itu adalah kuda untuk mengangkut barang-barang keperluan sehari-hari dari kota.
Pada pertengahan tahun 1990, ke Sokoria sudah bisa ditempuh dengan alat transportasi modern, mobil dan sepeda motor. Seiring dengan pembangunan Proyek Pembangkit Listrik Panas Bumi di Mutubusa, semakin baik juga kondisi jalan raya menuju Sokoria saat ini.
WELCOME TO SOKORIA, selamat menikmati indahnya alam, sejuknya hawa, dinginnya malam, hangatnya pancuran Aemu (mata air hangat), uniknya ritual adat, Gereja Tua St. Maria de Fatima, senyum ramah penduduk, dsb.
slmt Natal 2007 dan slmt Tahun baru 2008 utk semua orang sokoria yg ada dimana sj.banyak yg sudah di tampilkan di blog ini tentang sokoria yg kita cintai ini.kami rina lebih banyak lg info2 penting dan dokumentasi terbaru tentang perkembangan sokoria we kita ngala tahu tentang keadaaan sokoria saat ini,mai kita sama2 berpartisipasi utk sokoria.slmt berjuang dan jgn pernah berhenti berusaha anamamo sekolengo,
ReplyDelete